Gunungan Gendul
Menikmati gunungan gendul alias botol plastik bekas air kemasan setinggi belasan meter yang tercatat oleh MURI setelah memecahkan rekor gunungan sebelumnya sungguh mengundang kekaguman kepada penggagas ide cemerlang ini. Rekor MURI dicatat, dekorasi unik tertancap dan nuansa budayapun melekat.
Pengetahuan dan Kearifan Lokal di Daerah Lereng Gunung
Dalam pewayangan, ‘gunungan’ menduduki peran sentral sebagai penanda pembuka dan berakhirnya pagelaran. Gunungan berhiaskan simbol flora dan fauna, kiasan kesatuan ekosistem penunjang kehidupan. Rusaknya ekosistem menjadi penanda rusaknya kehidupan.
Bagi masyarakat gunung, kata gunung selalu memiliki daya pesona yang khas. Secara fisik kegagahan gunung menimbulkan rasa aman, ‘berlari ke gunung’ sering diungkapkan sebagai penanda gunung sebagai benteng perlindungan. Pemazmur yang menyeru “Allahku, gunung batuku” bermakna alegoris (kias) yang berarti, Allah tempat perlindunganku. Gunung dipergunakan dalam kiasan tempat berlindung, meski terkadang gunung juga menakutkan saat yang mbahureksa gunung memuntahkan lahar dengan kedahsyatannya dan dalam jangka panjang muntahan lahar itupun merupakan wujud dari penumpahan berkat batu pasir, batu gunung dan kesuburan tanah pegunungan.
Dalam keseharian beberapa istilah juga mengait pada kosakata gunung, diantaranya nyabuk gunung, njanur gunung serta sri gunung. Sosok gunung dari jauh tampak indah setelah didekati by detail ada lembah, lurah, tonjolan, jurang yang bagi kebanyakan orang jangankan indah malahan menyeramkan, ada aura bahaya. Istilah srigunung biasanya digunakan sebagai penyandra perwajahan yang keindahannya menonjol bila dilihat dari jauh. Sri gunung dalam realita keseharian dekat dengan kesukaan mengagumi dan menikmati keindahan yang sebanding dengan keberanian menghadapi potensi bahaya dengan menyikapinya secara bijak.
Berbagai bahaya diantaranya erosi, muntahan lava, serta dampak global perubahan iklim terintegrasi di daerah lereng gunung berapi. Namun masyarakat di sekitar puncak gunung Merapi tetap merasa ‘hidup nyaman bersama ancaman’. Bagi masyarakat sekitarnya, Merapi yang berasal dari kata ‘meru’ (gunung) dan api, diyakini sebagai bagian dari kehidupan kulturalnya. Gunung dan manusia sebagai suatu kesatuan, sehingga aktivitas gunung berapi diyakini tidak akan menegakan masyarakatnya. Penguasa gunung akan mengirim utusan dan masyarakat penghuni gunung diberi kemampuan membaca sasmita tanda-tanda alam berupa asap, migrasi fauna dari atas ke bawah sebagai penanda peningkatan aktivitasnya.
Aktivitas gunung berapi juga menghidupkan rasa empati merasa senasib yang menjadi embrio kelahiran organisasi komunitas semisal Paguyupan Sabuk Gunung (PASAG) Merapi. Integrasi organisasi komunitas dalam kebijakan dan langkah penanggulangan bencana sangat diperlukan untuk mengefektifan mitigasi dan langkah penyelamatan.
Manusia adalah makluk pembelajar. Aneka mitos, cerita gugon tuhon, pengetahuan dan kearifan lokal bisa dan perlu diramu dengan kekinian untuk dipergunakan oleh masyarakat sebagai dasar adaptasi kultural penduduk. Konsep keseimbangan alam yang diterjemahkan ke dalam sistem sosial yang membatasi kerusakan alam di wilayah lereng Gunung.
Melalui gunungan manusia diingatkan akan tiga dasar relasi yaitu relasi manusia dengan sesama titah ngaurip (antar makluk hidup) manusia-flora-fauna, relasi manusia dengan alam serta relasi manusia dengan Sang Maha Atitah. Ketiga relasi ini secara hakiki sebangun dengan prinsip Tri Hitta Karana yang mendasari gerak hidup masyarakat Bali, sebagai saka guru harmonisasi kerukunan. Relasi manusia dengan Sang Pencipta (Parahyangan), relasi antar manusia dengan sesama (Pawongan) dan relasi manusia dengan lingkungan (Palemahan).
Secara umum dari kajian ini menunjukkan bahwa kesatuan ekosistem lereng gunung berapi menyuburkan pengetahuan dan kearifan lokal sebagai wujud komunikasi manusia dengan alam dan dinamikanya.
[Bagian dari makalah yang dipresentasikan pada suatu forum]
Ping balik: Sumpah Pemuda dalam Visualisasi Karya | RyNaRi
Ping balik: Satu Helai Daun Satu Nafas Kita | RyNaRi
istilah gunungan sering kali terdengar saat grebeg sawal,sekaten dll, karna biasanya dibuatlah gunungan makanan lalu direbutkan…
dan makalah yang ibu paparkan sungguh hebat..dari satu kata terdapat ribuan makna yang mendalam..*alhamdulilah terimakasi dapat wawasan baru lagi
matursuwun 🙂
Gunung di Al Quran disimbolkan sebagai pasak bagi bumi yang akan menjaga bumi dan menancapkan bumi sehingga kokoh.
Luar biasa ya bu prih, terimakasih makalah ini memberi pengetahuan baru u saya…:)
secara kosmologi, manusia memang tak bakalan bisa terpisahkan dari gunung
teramat banyak makna mendalam disana walai kini mulai ditinggalkan
ga pernah kepikiran dari gunung ada ibrah sedalam itu…. terima kasih bu,
banyak pelajaran dalam gunungan. Terima kasih atas penjelasannya Bu Prih 🙂
ibuuuuu…makalahnya top markotop *jempol*
Ping balik: EcoArk | cet4k cet1k cet0k
Jadi teringat dengan gambar Ego vs Eco, yang mana Ego menempatkan manusia dipuncak sementara Eco menempatkan manusia sebagai bagian dari alam. Menyadari bahwa kita bagian dari ekosistem membuat kita bisa semakin menghargai alam …
TFS bu Prih …
maturnuwun bu… jadi lebih mengetahui filosofi per-gunungan 🙂
Hmmm .. kayaknya aku kemarin sdh berkomentar di postingan ini ya mbak, tapi beda alamat blognya, emang sekarang dah ganti alamat ya mbak ? 🙄
Saya senang sekali membaca tulisan-tulisan Bu Prih yang membuat saya lebih paham akan asal muasal segala hal yang berkaitan dengan budaya Bali yang tentunya sangat banyak berakar dari buadaya Jawa. di Bali Gunungan disebut sebagai Kayon, Bu Prih.. Bentuk dan fungsinya serupa..
Membaca blog mbak Prih, mengingatkan simbol dan makna gunung dan alam sekitar bagi masyarakat….
Juga banyak kirotoboso lainnya…makasih mbak Prih, terutama buatku, yang sudah lupa arti simbul dll nya.
wah… maknanya dalem banget ya Mbak…
sebagai cah ereng-ereng Merapi, saya mendapat banyak hal baru dari posting ini. Matur nuwun telah berbagi Mbak Prih..
Ping balik: Gunungan Gendul | RyNaRi
aku mengenal istilah tancep kayon dari cerita wayang..
terimakasih uraian pemaknaan gunungan ini bu, sungguh dalam.
sekali lagi alam takambang jadi guru.. 🙂